Patin Siam atau Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) termasuk ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Permintaan pasarnya cukup tinggi, terutama di Pulau Sumatra dan Kalimantan, tetapi pasokannya rendah. Keadaan ini menjadikan harga ikan patin menjadi tinggi. Inilah suatu peluang yang baik untuk dijadikan sebagai lahan usaha.
Patin Siam, yang dulu bernama latin Pangasius sutchi fowler ini bukan ikan asli Indonesia, tetapi dari negara lain. Ikan ini berasal dari Bangkok, Thailand yang didatangkan ke Indonesia pada tahun 1972. Karena bentuk tubuh Patin Siam mirip dengan Patin Indonesia atau patin lokal (Pangasius pangasius), maka ikan ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Patin Siam merupakan salah satu genus lele-lelean, dan termasuk ikan berkumis (catfish). Sebutan atau nama Patin Siam di setiap tempat dan negara berbeda-beda. Di negara asalnya, Patin Siam bernama Pla Sawai. Di Malaysia, selain diberi nama patin, disebut juga ikan lawang, martinus, dan tikol.
Di Vietnam, Patin Siam disebut Ca Tre Yu, di Kamboja disebut Trey Pra. Dalam Bahasa Inggeris, Patin Siam disebut Catfish, River Catfish, atau Striped Catfish. Sedangkan di Indonesia, selain dinamakan ikan patin disebut juga jambal siam, atau lele bangkok (Jawa), dan ikan juara (Sumatra dan Kalimantan).
Secara umum, budidaya Patin Siam dibagi kedalam dua tahap, yaitu pembenihan dan pembesaran. Pembenihan adalah kegiatan menyediakan benih-benih ikan yang siap dipelihara di kolam pembesaran. Sedangkan pembesaran adalah kegiatan memelihara benih, hasil pembenihan hingga menjadi konsumsi.
Tidak seperti ikan mas dan ikan nila, pembenihan Patin Siam agak sulit. Karena ikan ini tidak bisa memijah secara alami. Pemijahan Patin Siam hanya bisa dilakukan secara buatan atau lebih dikenal dengan istilah kawin suntik (induce breeding). Meski sulit, pembenihan Patin Siam sudah lama berhasil, dan berkembang pesat di Indonesia.