Dapatkan buku-buku karya Usni Arie terbaru (Penebar Swadaya Jakarta), Panen Lele 2,5 Bulan, Panen Bawal 40 Hari, Panen Ikan Mas 2,5 Bulan, Panen IKan Patin 3 Bulan. Tersedia kumpulan artikel budidaya ikan air tawar (23 jenis ikan), kumpulan artikel budidaya nila gesit. Miliki buku Kiat Sukses Beternak Kodok Lembu. Hubungi 081 563 235 990.

02 May 2008

Halo-halo Bandung

SAYANG, bukan hanya sekedar kata kiasan, bagi Pak Hadi, pria berusia enam puluh tahun ini. Tapi sudah menjadi komitmen hidupnya. Makanya sejak dia menikah sampai sekarang, sudah beranak lima perasaan sayang terhadap seluruh anak-anaknya tak pernah luntur. Terlebih lagi pada Arya, anak bungsunya.

Arya memang selalu mendapat perlakuan yang lebih isti-mewa dibanding kakak-kakaknya. Apapun keinginan Arya selalu dikabulkan, selama keinginan itu dianggapnya positip dan masih terjangkau olehnya. Tak ada kata tidak boleh buat Arya. Dengan kata lain, Arya sangat dimanja.

Meski Arya diperlakukan seperti itu, anak-anaknya yang lain tidak merasa iri. Mereka sudah merasakan selama ini kalau kasih sayang kedua orang tuanya sudah membawanya menjadi orang-orang yang boleh dibilang sukses. Buktinya mereka sudah bisa hidup mandiri.

Arya sendiri sudah tahu kalau bapaknya sangat menya-yanginya. Namun dia tidak menyia-nyiakan kasih sayang tersebut. Dia tetap berusaha menjadi anak yang baik, seperti kakak-kakaknya, walau dia tidak mau melanjutkan sekolah-nya ke peguruan tinggi seperti kakak-kakaknya. Dia merasa kekayaan bapaknya sudah cukup sebagai bekal hidupnya.

Pak Hadi pun merasa puas dengan perjuangan hidupnya selama ini. Tak sia-sia rasanya semasa muda, dia bangting tulang mencari uang demi anaknya. Dia bersyukur, dengan semua hasil yang sudah diperolehnya. Kini dia hanya tinggal memikirkan Arya.

Tak sulit baginya untuk memikirkan anak bungsunya ini. Karena semua keinginan Arya tak pernah berlebihan, tidak seperti anak tetangganya. Sudah tentu sifat Arya ini telah menambah rasa kasih sayangnya kepada Arya. Makanya dia selalu memenuhi semua keinginan Arya termasuk hobinya.

Pak Hadi tahu kalau Arya senang sekali memelihara burung. Setiap burung yang diinginkan Arya selalu dibelinya. Meski setiap keinginan Arya selalu dikabulkan, namun perasaannya masih belum puas, karena dia belum pernah membelikan seekor burungpun untuk Arya. Makanya sudah lama sekali, dia ingin memberikan hadiah berupa burung buat anak bungsunya itu.

000

Suatu hari Pak Hadi pergi ke kota. Dia berniat hendak membeli beberapa kaleng cat tembok. Rencananya, cat tembok itu akan digunakan untuk mengecat tembok depan rumahnya. Dia sendiri yang akan mengecatnya. Untuk mengisi waktu, katanya.

Sebelum ke toko besi, Pak Hadi mampir dulu ke penjual burung. Maksudnya, kalau ada burung bagus, dia akan membelinya. Untuk menambah koleksi burung Arya, katanya. Namun setelah dilihatnya, ternyata sebagian besar jenis burung-burung itu yang ada di penjual burung itu, sudah dimiliki Arya. Dia pun segera mengurungkan niatnya.

Pak Hadi segera meninggalkan penjual burung. Dia berjalan menuju ke salah satu toko besi. Namun sebelum sampai di tempat itu, dia melihat seorang pemuda sedang mengangkat sebuah dus bekas mie instan yang sudah dilubangi. Dus itu disodorkan kepada seorang pemuda lain. Dari dalamnya terdengar suara burung yang sangat aneh. Pak Hadi segera menghampiri kedua pemuda itu.

“ Burung apa itu, De ? tanyanya sambil memandang dus itu. Dia nampak penasaran sekali.

“ Burung beo, Pak “ jawab pemuda yang memegang dus. “Bapak mau beli ? tanyanya “ Silahkan, Pak ! katanya lagi. Sedangkan pemuda di depannya menggeser tubuhnya.

“ Burung beo ? Bagus enggak ?

Pak Hadi mencoba memegang dus yang dipegang pemuda itu. Pemuda itu mengangkat tinggi-tinggi hingga tepat di depan muka Pak Hadi.

“ Bagus, Pak. Burung ini sudah jadi “

“ Coba bapak ingin dengar !

Pemuda itu segera mendekatkan moncong mulutnya ke sebuah lubang dalam dus itu.

“ Asalamu Alaikum “ tanyanya.

“ Waalaikum salam “ jawab burung itu dengan suara yang sangat jelas sekali.

Pak Hadi sangat heran mendengarnya. Betul saja, yang di dalam itu burung beo, bisik hatinya. Mendengar suara itu otaknya langsung bekerja membayangkan, andai saja burung itu dibelinya, kemudian diperlihatkan kepada Arya, pasti Arya akan senang, pasti setiap hari dia dan Arya akan mendengar suara burung itu. Burung yang jelas beda dengan burung yang ada di rumah anaknya.

“ Halo halo Bandung ..” terdengar lagi suara burung itu.

Pak Hadi kembali heran. Suara burung terdengar sangat jelas. Dia segera mendekatkan telinganya ke dus itu. Tapi pemuda itu segera menarik dus itu.

“ Garuda Pancasila ... “ kembali suara burung itu. Pak Hadi semakin heran. Rasa sayangnya pada Arya muncul. Demikian juga dengan niat dalam hatinya.

“ Mau dijual berapa, De ?

Pak Hadi menatap dus itu.

“ Empat ratus ribu, Pak “

Pemuda itu menyerahkan dus itu kepada Pak Hadi. Setelah berada ditangannya, Pak Hadi mencoba melihat burung itu melalui salah satu lubangnya. Benar saja dalam dus itu ada seekor burung hampir sebesar kepalan tangannya. Namun bentuk dan warnanya tidak jelas, karena gelap.

“ Empat ratus ribu ? Mahal amat ?

Pak Hadi menyerahkan kembali dus itu. Pemuda itu me-ngambilnya.

“ Empat ratus ribu itu murah, Pak. Orang lain, menjual bisa sampai jutaan, Pak. Namanya juga burung beo “

Pak Hadi membenarkan perkataan pemuda itu. Memang burung beo itu mahal harganya.

“ Dua ratus ribu, ya ?

“ Enggak, Pak. Orang ini saja nawar dua ratus lima puluh ribu, enggak saya kasih. Apalagi bapak yang hanya nawar dua ratus ribu “

Pemuda itu menunjuk pemuda yang ada di depannya. Pemuda yang ditunjuk mengangguk.

“ Betul, Pak. Saya sudah nawar dua ratus lima puluh enggak dikasih “ kata pemuda itu.

“ Halo halo Bandung “ terdengar lagi suara burung itu.

“ Gimana, kalau tiga ratus ribu ? Mau dikasih enggak ?

Pemuda yang memegang dus nampak diam. Dia meman-dangi dus yang dipegangnya.

“ Ya. Enggak apa-apa deh, Pak “

Pak Hadi mengeluarkan dompetnya, kemudia mengambil tiga lembar uang seratus ribuan. Sebelum memasukan dom-petnya, dia menyerahkan uang tersebut kepada pemuda itu. Pemuda itu mengambilnya sambil menyerahkan dus yang dipegangnya. Dengan senang hati Pak Hadi menerima dus itu. Arya pasti senang, pikirnya.

000

“ Arya ! Arya ! panggil Pak Hadi ketikan baru saja tiba di rumahnya. Suaranya agak keras. “ Cepat ke sini ! katanya lagi. Pak Hadi melangkah menuju kamar Arya sambil me-ngangkat dus. Pintu depan ta sempat ditutupnya.

“ Ada apa sih, Pak ? tanya Arya yang keluar dari kamarnya. Dia nampak kaget sekali mendengar panggilan bapaknya. Dia menduga pasti ada hal penting.

“ Bapak beli burung nih “

Pak Hadi mengangkat sebuah dus.

“ Burung ? Burung apa, Pak ?

“ Burung beo “

Arya mengambil dus itu dari tangan bapaknya. Dia mencoba melihatnya melalui salah satu lubang dalam dus. Benar saja sebuah burung. Namun dia masih belum percaya dengan yang dikatakan bapaknya. Karena dia tahu kalau bapaknya tidak tahu banyak tentang burung. Lagi pula, paruh burung itu nampak kecil, padahal burung beo, paruhnya besar.

“ Burung beo ? Yang benar, Pak ?

“ Iya. Burung beo. Bapak sudah mendengar suaranya. Burung itu bisa menjawab Waalaikusalam. Burung itu juga bisa nyanyi halo halo Bandung dan garuda Pancasila “

“ Memangnya bapak beli berapa ?

Arya menatap Pak Hadi.

“ Tiga ratus ribu “

“ Murah amat. Burung beo itu harganya jutaan, Pak. Arya yakin itu bukan burung beo, Pak “

“ Sudah kamu jangan banyak ngomong. Cepat ambil sang-karnya ! bentak Pak Hadi.

“ Enggak ada, Pak. Sangkarnya dipakai semua “

“ Kalau begitu, cepat kamu beli !

“ Uangnya mana ?

“ Pakai dulu uang kamu !

“ Ah, bapak “ gerutu Arya.

Arya tak bisa berbuat apa-apa. Dia menuruti keinginan bapak dan pergi membeli sangkar di kota yang kebetulan hanya sekali naik angkot. Sedangkan Pak Hadi segera menemui istrinya.

Tak berapa lama, Arya sudah kembali dengan membawa sebuah sangkar yang cukup bagus. Dia melihat bapaknya sedang duduk di kursi. Sedangkan ibunya jongkok mengha-dap dus burung yang diletakan di atas meja.

“ Asalamu alaikum “ kata ibunya.

Setelah berkata begitu, ibunya diam sambil menatap dus itu. Namun ibunya nampak heran, karena tak ada jawaban dari dalam dus.

“ Kok enggak ada jawaban, Pak ?

Pak Hadi tak menjawab pertanyaan ibunya. Dia menatap Arya yang memegang sebuah sangkar dan sedang meman-dang ulah ibunya.

“ Garuda Pancasila .. “ kembali kata ibunya. Tentu saja suara ibunya itu bernada lagu Garuda Pancasila. Setelah berkata begitu ibunya diam. Dia kembali heran, karena dalam dus itu tak ada suara apapun.

“ Halo halo Bandung “ kata ibunya lagi dengan nada nya-nyian halo halo Bandung. Kembali ibunya diam. Dia menung-gu suara dari dalam dus. Nampak keningnya berkerut.

“ Kok ada suaranya juga, Pak ? kata ibunya.

Pak Hadi tak menjawab. Dia juga merasa heran dengan keadaan itu. Padahal tadi saat dibelinya suara burung itu sangat jelas ditelinganya.

“ Masa sih, Bu ? katanya.

Pak Hadi turun dari kursi, kemudian mendekati dus itu. Segera moncong mulutnya didekatkan ke sebuah lubang di dus itu.

“ Asalamu alaikum !

Pak Hadi menirukan suara istrinya, kemudian dia diam sejenak, menunggu jawaban burung yang ada dalam dus. Namun setelah ditunggunya, tak ada jawaban juga. Tak urung keningnya nampak berkerut.

“ Halo halo Bandung “

Kembali suara Pak Hadi dengan nada nyanyian halo halo Bandung. Kembali dia diam. Namun dari dalam dus masih tak ada suara apapun. Pak Hadi menggoyangkan dus itu.

“ Halo halo Bandung “

Pak Hadi kini betul-betul heran. Timbul dugaan dalam hatinya, kalau burung itu bukan burung beo, seperti yang dikatakan Arya.

“ Betul kan kata Arya juga. Itu pasti bukan burung beo. Harga burung beo itu bisa lima juta, Pak “ Arya angkat bicara.

“ Ah kamu sok tahu “ bentak Pak Hadi. “ Coba sekarang buka saja ! katanya. “ Tapi kamu harus hati-hati. Jangan sampai burung itu lepas ! katanya lagi.

Arya mendekati dus itu. Dia segera membuka tali yang mengikat bagian atas dus. Terdengar burung itu bergerak.

“ Awas hati-hati jangan sampai lepas ! katanya. “ kalau lepas, nanti susah menangkapnya. Bu ! pintunya semua ditutup ! katanya lagi.

Bu Hadi menuruti keinginan suaminya. Dia langsung menu-tup pintu dapur dan pintu depan yang masih terbuka. Setelah itu, dia menghampiri Arya yang siap menangkap burung yang masih ada dalam dus.

Pelan-pelan tangan Arya dimasukan ke dalam dus itu. Jari ta-ngannya terasa menyentuh bulu burung. Jari langsung me-nangkap binatang itu. Namun hatinya ragu, karena yang di-pegangnya tidak bergerak sedikitpun.

Pak Hadi dan istrinya nampak tegang. Ingin segera melihat burung apa yang akan dikeluarkan Arya. Jari Arya nampak keluar dari dalam dus. Bulu burung juga mulai terlihat. Hitam warnanya. Namun dia masih tegang, karena tubuh burung itu belum terlihat semuanya.

Arya segera mengangkat jari tangannya ke atas. Kini burung sudah ada di pegangan jari tangannya. Dia pun tahu, kalau burung itu bukan burung beo. Burung lain yang dia tentu sudah tahu namanya.

“ Nah kata Arya juga apa. Ini bukan burung beo. Burung beo itu, paruhnya besar. Coba bapak lihat, paruh burung ini kan kecil “ kata Arya.

Arya memperlihatkan paruh burung yang dipegangnya kepada bapaknya. Pak Hadi dan istrinya menatap tajam burung itu. Namun hatinya masih belum percaya kata-kata Arya.

“ Ah kamu sok tahu. Siapa tahu ini burung beo ini jenis lain “ kata Pak Arya.

Pak Arya menatap burung itu. Tapi dia masih ngotot.

“ Pak ! Hobi Arya itu memelihara burung. Jadi Arya tahu persis yang namanya burung beo. Kalau bapak ingin tahu, ini namanya burung cakakak, Pak “

“ Enggak mungkin, Ar. Bapak kan sudah dengar langsung suaranya “

“ Ya sudah kalau enggak percaya “ kata Arya sambil me-masukan burung yang dipegangnya ke dalam sangkar yang baru dibelinya. Setelah itu, dia langsung pergi meninggalkan kedua orang tuanya.

“ Halo halo Bandung .. “

Terdengar olehnya suara bapak dan ibunya menyanyikan lagu itu secara bergantian. Arya yakin kalau moncong mulut bapak dan ibunya sedang didekatkan dengan sangkar itu. Seribu kali bapak dan ibu menyanyikan lagu itu, tak mungkin burung itu menuruti, gerutunya. Yang jelas bapak sudah dikerjain, kembali bisiknya.