BAKRI mengambil amplop gajinya. Karyawan yang sudah bekerja selama belasan tahun ini, tidak langsung membu-kanya, dia melipat amplop itu, kemudian memasukannya ke dalam saku celananya. Dia sengaja melakukan itu untuk menghindari teman-temannya. Dia tidak mau menampakan perubahan raut mukanya saat melihat tulisan dalam amplop itu. Dia juga tidak mau mendengar lagi canda teman-temannya, kok gajian lesu.
Bakri memandang ke arah bendahara gaji. Nampak beberapa orang temannya di sana. Ada yang sedang menandatangani daftar gaji, ada yang sedang menghi-tung uang, ada juga yang sedang melipat amplot seperti yang dilakukannya. Dia tahu kalau diantara teman-temannya itu, ada yang gajinya utuh, ada juga yang amburadul.
Bagi sebagian teman-temannya, tanggal satu merupakan saat yang sangat me-nyenangkan. Di hari itu sudah tentu mereka akan mendapatkan apa yang selama ini dicarinya, kemudian menunggunya lagi sampai tanggal satu bulan beri-kutnya. Uang gaji itu tentu akan sangat berguna untuk memenuhi segala kebutuhan hidup selama satu bulan. Bila lebih ditabung, bila kurang dihemat.
Beda lagi dengan Bakriri. Tanggal satu bukanlah saat yang menyenangkan, tapi sebaliknya malah akan menjadi saat yang sangat memusingkan. Karena dia tidak akan mendapatkan apa yang selama ini dicarinya secara utuh. Uang gajinya tidak mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sebulan. Mungkin hanya cukup untuk seminggu. Itu sudah dibilang untung.
Terkadang dia harus nombok. Karena jumlah potongannya lebih banyak dibanding jumlah gajinya. Kalau kata pribahasa, lebih besar pasak daripada tiang. Sudah pasti keadaan itu akan membuat kepalanya seperti pecah. Makanya dia sangat malas menghadapi yang satu itu. Kalau perlu dalam sebulan tak perlu ada tanggal satu, katanya pada seorang temannya.
Bakri berdiri lesu. Dia menduga kalau gaji bulan ini hancur. Karena selain dipotong cicilan pinjamannya ke BRI, Bank yang selalu akrab dengannya, juga ada potongan lain. Karena bulan lalu dia meminjam uang ke koperasi untuk mengobati anaknya yang sakit dan bulan ini mulai dipotong. Belum lagi setiap hari dia mengambil berbagai kebutuhan sehari-hari di toko milik koperasi. Bila ingat itu, kepalanya terasa copot.
Seringkali Bakri bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa nasibnya begitu buruk. Kenapa dia tidak memiliki uang banyak seperti orang lain. Kenapa dia harus menjadi karyawan yang gajinya sangat minim. Kemudian, sudah tahu gajinya minim, kenapa dia harus memaksakan kehendak yang menurut ukurannya tidak mungkin terjangkau. Tapi kalau tidak begitu, mungkin dia tidak akan punya apa-apa. Bahkan anaknya yang sakit saja mungkin tak akan bisa diobati.
Bakri melangkah keluar ruangan. Meski langkahnya lunglai, dia mencoba tabah mencari tempat yang tersem-bunyi. Terbayang olehnya angka-angka yang setiap bulan menagihnya, bayar listrik, iuran sekolah, bayar hutang ke warung, dan masih banyak lagi yang dia sendiri tidak ingat.
Saat sedang berjalan, Bakri ingat dengan kebiasaanya. Dia segera menghampiri tempat itu dan membuka pintu-nya. Itulah kamar kecil yang sering dipakai untuk mem-baca tulisan dalam amplop gajinya. Terbayang olehnya angka di amplop itu. Pasti jumlahnya lebih sedikit dari bulan lalu. Tentu karena potongan-potongan itu. Padahal kebutuhan bulan ini melebihi bulan lalu, karena harus membayar tunggakan iuran sekolah anaknya.
“ Pak ! Kata ibu sekarang bapak gajian. Nanti kalau bapak pulang, tolong belikan pistol-pistolan ya, Pak ! kata Budi, anak bungsunya, tadi sebelum berangkat.
“ Iya, ya “ jawab Bakri.
“ Tapi jangan bohong ya, Pak “
“ Enggak. Bapak enggak bakal bohong “
“ Awas ya, Pak “ begitu ancam Budi.
Minggu lalu Ranti, anak keduanya minta uang untuk melunasi buku pelajaran yang sudah dipakainya selama ini. Kata gurunya, kalau tidak melunasi, dia tidak boleh mengikuti ujian. Itu artinya anaknya tidak akan punya nilai untuk kenaikan kelasnya, sudah pasti anaknya tidak akan naik kelas. Bila ingat itu, dia merasa kasihan dengan Ranti.
Beberapa hari yang lalu Rahmat, anak pertamanya juga datang. Dia mengatakan kalau sepatu sekolahnya sudah rusak, sampai jari kakinya keluar. Sudah tentu dia mera-sa malu dengan teman-temannya, karena sering diledek. Itu beberapa kebutuhan yang sudah jelas. Belum lagi, bila dia sampai di rumah, pasti istrinya akan menyam-paikan hal yang lain yang menyangkut kebutuhan hi-dupnya.
Di kamar kecil itu yang dianggapnya aman, Bakri mera-ba saku celananya. Dia khawatir kalau amplop itu hilang seperti yang dialami Sukron, temannya bulan lalu. Kalau hilang sudah pasti tak mungkin ada yang mau menggan-tinya. Beruntung bagi Bakri, karena apa yang dikhawa-tirkan tidak terjadi. Amplop gajinya masih bersahabat dengannya.
Setelah yakin amplopnya ada, Bakri memasukan jari tangannya ke dalam saku celananya. Pelan-pelan dia tarik amplop itu hingga keluar. Diang-katnya amplop itu tepat di depan dadanya. Berbarengan dengan itu ke-palanya menunduk, sedangkan matanya mencoba menatap am-plop itu.
Sepasang bola mata Bakri yang lesu mencoba membaca angka-angka dalam amplop itu. Ada rasa getir yang muncul dalam hatinya. Khawatir kalau gajinya betul-betul hancur. Kalau hancur sudah pasti dia akan pusing tujuh keliling. Pelan-pelan bola mata itu tertuju pada angka-angka itu. Angka pertama yang pusat perhatian adalah angka terakhir, atau sisa gajinya. Karena dari angka itu, dia sudah mendapatkan gambaran bagaimana keadaan hidupnya bulan ini.
Dia sedikit kaget melihat-nya. Bukan kaget karena sisa gajinya berkurang, tetapi malah sebaliknya, angka itu lebih besar dari yang diduganya. Karena kagetnya, dia mencoba membaca tulisan dan angka-angka secara berurutan, mulai dari jumlah gaji totalnya sampai sisa gajinya. Setelah beru-lang-ulang membacanya, akhirnya dia tahu kalau semua itu disebabkan karena Ahmad, bendahara koperasi tidak memotong cicilan hutangnya. Lumayan, dia pikir. Uang tersebut bisa dipakai untuk melunasi buku pelajaran Ranti, agar dia bisa mengikuti ujian.
Bakri mencoba menarik uang dalam amplop itu. Lembar demi lembar dia hitung. Ternyata jumlah uang yang ada dalam amplop sama dengan yang tertera dalam tulisannya. Dia pun merasa senang. Cukup lama Bakri larut dalam kegembiraannya, dia baru sadar ketika mendengar ketukan pintu. Bakri segera memasukan kembali uang itu ke dalam amplopnya.
Celaka baginya, beberapa uang logam jatuh. Tak urung suara sentuhan uang logam itu terdengar cukup keras. Dia segera mengambil uang logam itu. Beberapa keping uang logam lima ratusan yang terselip di lubang air diambilnya. Biar kotor juga, yang penting uang itu bisa untuk ongkos pulang. Kini pemeriksaan uang gajinya sudah beres. Dia siap mem-buka pintu. Namun baru saja akan memegang gagang-nya, pintu itu sudah terbuka. Celaka dua kali baginya, karena pintu itu mengenai tepat di jidatnya.
“ Aduh ! katanya.
Bakri mengerang kesakitan sambil memegang jidatnya yang baru saja kena ujung pintu. Dia baru sadar, rupa-nya pintu kamar madi itu tidak dikuncinya. Untung saja tidak ada orang yang masuk, pikirnya. Kalau ada orang masuk berarti sia-sialah usahanya untuk menghindari teman-temannya.
“ Eh, maaf “ suara orang yang membuka pintu. Mungkin dia tahu kalau sudah ada seseorang yang kena pintu itu.
“ Sabar dong ! kata Bakri. Jari tangannya masih meme-gang jidatnya. Bakri mengangkat kepalanya. Dia meman-dang orang yang baru saja membuka pintu. Rasa emosi-nya timbul. Dia pun menatap orang itu. Namun rasa itu segera luluh saat tahu siapa orang yang sudah ada di hadapannya.
“ Eh kamu ! Aku kira siapa ? kata orang itu.
“ Aduh kamu enggak sabar amat, Mar. Kepalaku sakit nih “
“ Oh tadi kamu kejeduk ya ? Mana yang sakit ?
Umar memeriksa jidat Bakri yang sedikit benjol, kemu-dian meraba-raba bagian itu dan terakhir dia memijitnya dengan keras urung Bakri mengerang kesakitan. Bakri mendorong Umar, teman candanya.
“ Ngapain sih kamu di kamar mandi, Kri ?
“ Aku habis kencing “
“ Kencing ? Lama amat. Jangan-jangan kamu habis buka amplop gaji ?
“ Ah kamu, tahu saja. Kamu sendiri mau apa ?
‘ Aku sih mau kencing. Cepat keluar ! enggak tahan nih “
Umar mendorong tubuh Bakri keluar kamar mandi, kemudian setelah melihat temannya pergi dia menutup pintu kamar kecil itu.
Bakri yang curiga dengan ulah temannya. Setelah pintu itu tertutup, dia membalikan tubuhnya. Bakri mendekati pintu itu, kemudian melekatkan telinganya di lubang kunci. Terdengar olehnya gesekan suara kertas. Setelah itu dia tersenyum. Rupanya Bakri sudah tahu ulah Umar. Kini kecurigaan itu terbukti rupanya Umar juga sedang membuka amplop gajinya. Setelah tahu ulah temannya, kebiasaan culasnya muncul. Diketuknya pintu keras-keras sampai suara terdengar cukup jauh. Bakri melang-kah cepat meninggalkan tempat itu. Dari jauh terlihat muka Umar nongol di pintu. Saat melihatnya, Bakri melambaikan tangannya sambil tersenyum. Sedangkan Umar mengacungkan tinjunya tinggi-tinggi.
Bakri berjalan sambil tersenyum. Senang betul habis ngerjain temannya. Namun saat berjalan, dia melihat Ahmad yang sedang berjalan ke arahnya. Dia kaget sekali. Khawatir kalau teman yang satu ini menagih cici-lan pinjamannya itu. Bakri segera masuk ke sebuah ruangan kosong. Untunglah Ahmad tidak mengikutinya
Bakri merasa lega. Sebuah adegan tegang sudah dilalui-nya. Coba, kalau tadi kepergok, mungkin Ahmad akan menagihnya. Itu artinya dia harus menyerahkan uang yang sudah ada di tangannya. Padahal sejak dari keluar dari kamar mandi kebahagiaan sudah menemaninya.
Lalu, bagaimana dia harus melunasi buku pelajaran Ranti, begitu pikirnya. Tidak. Aku tidak boleh bertemu Ahmad hari ini. Aku harus pergi menjauhi dia. Aku harus pulang. Aku harus menyerahkan uang ini kepada istriku segera, begitu pikirnya lagi.
Bakri mengintip dari balik pintu ruangan itu. Nampak olehnya Ahmad sedang berjalan menuju ruangannya. Dia kembali lega, karena suasana sudah aman. Ahmad sudah masu ke ruangannya. Segera dia keluar ruangan itu. Dalam benaknya terlintas niatnya untuk menghindar dari Ahmad. Namun dia tidak tahu bagaimana caranya.
Bila dia pulang, jam kerja masih harus dijalaninya. Nanti akan dinilai atasanya sebagai karyawan yang tidak disiplin. Tapi bila dia tetap di kantor, dia pasti akan ketemu Ahmad. Mending kalau Ahmad lupa dengan cicilan itu, kalau ingat, dia pasti akan menagihnya.
Dari dua jalan yang ada dalam benaknya, akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Biarlah sekali-kali dia me-langgar aturan, begitu pikirnya. Buktinya banyak teman-teman yang sering melanggar juga tidak pernah di beri saksi.
Dengan langkah nekad, akhirnya Bakri pergi meninggal-kan tempat kerjanya. Dia menumpang sebuah angkot sampai akhirnya tiba di kota, Untuk tiba di rumahnya, dia harus menumpang sebuah angkot lagi dan harus melewati pasar. Saat sedang berjalan dia melihat sebuah kerumunan. Dia segera mendekati kerumunan itu, Sekedar ingin tahu.
Kini Bakri sudah berada dalam kerumunan itu. Dia ber-diri paling belakang. Di tengah kerumunan itu, nampak seorang pemuda sedang ngoceh sambil tangannya bergerak-gerak dengan cepat. Ocehan itu cukup menarik perhatian orang yang mendengarnya, termasuk Bakri. Ditambah lagi dengan bukti yang diperlihatkan dari per-mainan tangannya. Membuat semua yang ada di situ semakin percaya.
Seorang pria yang berdiri paling depan nampak menye-rahkan selembar uang ribuan kepada pemuda itu. Pemu-da itu segera mengambil dan mengepalnya. Dia meniup tangan yang dikepal itu. Ketika dibuka, uang itu berubah menjadi selembar uang sepuluh ribuan.
Selang beberapa saat, seorang pria yang berdiri di sam-ping Bakri maju ke tengah kerumunan itu dan menye-rahkan kepada pemuda itu. Pemuda itu kembali dengan aksinya dan ternyata uang itu berubah menjadi selembar uang kertas seratus ribuan.
Bakri yang sudah tertarik dengan omongan orang itu se-gera berpikir lebih jauh. Otaknya segera bekerja. Dia mulai menghitung semua uang yang ada di saku celana-nya. Dia membayangkan, andai saja uang dalam amplop itu bisa menjadi sepuluh kali seperti yang ditunjukan orang itu, berarti dia akan memiliki uang lima juta.
Kalau dia membutuhkan satu juta, berarti masih tersisa empat juta. Masih sangat besar untuk ukurannya. Itu gaji delapan bulannya, karena selama ini dia hanya mene-rima uang gaji sisa sebanyak lima ratus ribu setiap bulannya. Wah itu terlalu banyak, pikirnya. Nanti dia dituduh habis merampok oleh istrinya.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya dia memutuskan cukup tiga ratus ribu saja yang digandakan. Karena dengan jumlah itu berarti uang akan menjadi tiga juta. Kebutuhan yang mendesak hanya satu juta. Berarti masih ada sisa dua juta. Uang sejumlah itu, masih banyak sekali menurut ukurannya. Dengan begitu tudu-han istrinya dapat dihindari.
Bakri maju ke tengah kerumunan seperti yang dilakukan orang tadi. Beberapa orang yang berdiri di depannya menggeser tubuhnya, memberi jalan kepada Bakri. Tan-pa pikir panjang dan lupa dengan akal sehatnya, Bakri menyerahkan uang tiga ratus ribu. Dengan penuh se-nyum, pemuda itu menerimanya.
Pemuda itu segera membalik-balikan amplop itu, kemu-dian meniupnya. Dan dengan penuh keyakinan, dia akan mampu menggandakan uang dalam amplop itu menjadi sepuluh kali lipat, begitu katanya. Namun, karena uang dalam amplop itu cukup banyak, katanya lagi, dia me-merlukan konsentrasi yang lebih.
Setelah berkata begitu, pemuda itu melangkah menjauhi kerumunan dan menyelinap di balik gerobak rokok yang sudah rusak. Bakri kaget melihatnya. Segera dia bereaksi, namun beberapa tangan mencegahnya. Dia akhirnya diam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Na-mun setelah lama menunggunya, pemuda itu tak juga muncul. Yang berdiri di tempat itu hanya dia sendiri.