Setiap orang ingin bahagia. Yaitu hidup senang, tenang, tentram dan damai. Senang karena selalu menikmati setiap yang dimilikinya. Tenang karena tidak merasa punya masalah. Tentram karena diusik orang lain. Damai karena selalu rukun, harmonis dan tidak berselisih dengan orang lain. Orang yang bahagia hidup seperti sehelai kapas yang terbang tertiup angin.
Namun ternyata tidak semua orang bisa merasakannya. Bahkan kalau dihitung lebih banyak orang yang menderita daripada orang yang bahagia. Karena kebanyakan orang selalu merasa tidak puas dengan hasil yang sudah diperolehnya, selalu merasa kekurangan dengan semua yang sudah dimilikinya. Keadaan itu membuat orang selalu merasa susah, tertekan dan gelisah.
Kebahagiaan orang miskin
Orang miskin menduga kalau orang kayalah yang bahagia. Karena orang kaya bisa tinggal di rumah megah, bisa mengendarai mobil mewah, selalu makan di restoran, bisa pergi ke luar negeri dan bisa segalanya. Sedangkan dirinya, jangankan rumah megah, tinggal saja masih di rumah kontrakan. Jangankan mobil mewah tiap hari saja jalan kaki. Jangankan di restoran, makan saja seret, kadang makan kadang enggak. Jangankan ke luar negeri, pulang kampung saja jarang. Pokoknya banyak hal yang tidak bisa dilakukan. Itu dugaan orang miskin. Tapi rupanya dugaan itu salah besar.
Ini kisah nyata. Seorang direktur sebuah perusahaan di Jakarta berkunjung ke sebuah desa di Sukabumi untuk menghadiri pesta pernikahan anak buahnya. Dengan sebuah mobil mewah dia tiba di desa itu. Karena tempat yang akan ditujunya cukup jauh, terpaksa dia dan istrinya harus berjalan kaki menapaki pematang sawah. Awalnya mereka merasa risi dengan jalan itu. Karena itu bukan kebiasaannya yang selalu berjalan di atas kramik yang mengkilat dan bersih.
Namun setelah berjalan cukup jauh mereka tertegun. Mereka merasakan ketenangan dan kedamaian. Gemercik suara air di petakan-petakan sawah. Kicauan suara burung dari pepohonan. Dan suara gesekan daun. Suasana yang jarang ditemukan dalam hidupnya selama ini. Karena Jakarta bukan lagi tempat tenang dan damai. Jakarta sudah menjadi tempat yang bising dan penuh persaingan. Tak ada gemercik suara air, apalagi suara kicauan burung-burung di pepohonan. Hanya suara knalpot dan klakson mobil yang terdengar.
Mereka memandang lebih jauh. Sebuah pemandangan yang sangat indah. Gunung-gunung kecil yang mengapit jalan. Pohon-pohon kelapa dan pohon-pohon besar lainnya. Padi-padi yang menguning dengan buahnya yang padat, membuat batangnya semakin menunduk. Daun-daun jagung dan tanaman yang hijau di kiri dan kanan jalan. Sebuah pemandangan yang jarang dilihatnya. Karena Jakarta bukan lagi tempat yang indah. Tak ada gunung-gunung, apalagi padi yang menguning. Yang ada hanyalah gedung-gedung yang tinggi dan jalan-jalan tol yang di atasnya melaju mobil-mobil yang hilir mudik tiada henti.
Mereka berdiri di bawah sebuah pohon besar. Segar sekali mereka rasakan di sana. Hawa segar yang sudah lama tidak menyentuh tubuhnya. Karena di Jakarta jarang sekali ditemukan pohon-pohon besar. Semilir angin berhembus dari pegunungan menerpa tubuhnya menambah kesegaran tubuh mereka. Saat itulah mereka menemukan suasana yang lain dari kesehariannya. Mereka merasakan kesejukan hati dan kedamaian. Suasana yang jarang dirasakan selama ini. Jakarta bukan lagi tempat yang sejuk dan damai. Jakarta sudah menjadi tempat yang panas dan penuh persaingan, dimana lebih banyak orang yang saling menjatuhkan.
Tak jauh darinya, seorang lelaki setengah baya sedang duduk di bawah saung kecil ditemani seorang wanita. Berkali-kali tangan lelaki setengah baya itu mengambil sesuatu di depannya sambil mulutnya tak berhenti mengunyah. Ketika melihat orang asing, dengan lugu lelaki itu segera melambaikan tangan. Lambaian tangan itu disambut dengan baik. Orang asing itu menghampiri saung itu. Se sangku nasi tersaji di depannya, dilengkapi dengkapi dengan ikan asin, sambal dan lalap. Rupanya lelaki setengah baya sedang makan. Namun ada satu keanehan yang dilihat. Makannya begitu lahap.
Sang direktur tertegun. Kenapa orang itu bisa makan begitu lahap, padahal makanan yang tersaji itu sangat sederhana. Tidak seperti dirinya. Makan lahap itu sangat sulit baginya, padahal makanan yang disajikan sangat komplit dan bergizi tinggi. Dia merasa iri. Ingin sekali makan selahap itu. Makanya ketika lelaki setengah baya itu mengajak makan lansung disambutnya, meski hatinya merasa heran, kenapa orang itu mengajaknya makan. Di Jakarta mana ada orang yang mau mengajak makan. Selesai makan, sang direktur memeluk lelaki setengah baya itu sambil berucap terima kasih. Baru kali ini dia bisa makan senikmat ini.
Kebahagiaan orang sakit
Orang sakit menduga bahwa orang sehatlah yang bahagia. Karena orang sehat bisa pergi kemana saja, bisa tidur nyenyak, bisa makan enak dan bisa segalanya. Sedangkan dirinya hanya bisa diam menahan rasa sakit. Ditambah lagi dengan ribuan rasa takut yang terus menghantui dirinya. Jangankan berjalan, berdiripun tak bisa. Jangankan tidur nyenyak, merempun tak bisa. Jangankan makan enak, lidahpun terasa pahit. Apalagi harus melakukan yang lainnya. Tapi rupanya dugaan itu salah.
Ini yang dialami istri saya. Pada Bulan Juni 2007, istri saya terkejut bukan main. Karena ketika meraba payudaranya ada sebuah benjolan kecil. Awalnya dia tidak percaya dengan benda asing itu, namun setelah diraba berkali-kali, ternyata itu memang sebuah benjolan. Dia sendiri tidak tahu kenapa benjolan itu muncul tiba-tiba. Dia mulai gelisah. Setiap malam jarang tidur. Takut benjolan itu kangker payudara seperti yang terjadi pada istri atasan saya yang akhirnya harus meninggal. Ketika saya tanya, dia tidak menjawab terus terang dengan keadaannya.
Pada suatu sore, tiba-tiba dia memeluk saya sambil minta maaf, karena selama ini dirinya telah menyusahkan saya. Saya terkejut, tidak tahu dengan maksud perkataannya. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan saya. Dia hanya menceritakan kembali kejadian lima bulan yang lalu. Pada Bulan Pebruari dia dioprasi di Rumah Sakit Bunut Sukabumi. Sebuah kista pada saluran pembuahan menyerangnya. Dia trauma sekali dengan kejadian itu. Selain itu dia menyesal. Karena akibat penyakitnya enam juta melayang.
Setelah didesak, barulah dia terus terang tentang apa yang sedang terjadi pada dirinya. Rupanya itulah yang ingin dikatakan kepada saya. Rupanya itulah yang membuat dia gelisah dan jarang tidur hampir setiap malam. Dia sangat takut kalau itu adalah kangker. Karena penasaran, saya mencoba meraba bagian atas payudaranya. Benar memang ada benjolan kecil pada bagian itu. Benjolan itu bergerak ke kiri dan kanan. Saya sangat terkejut. Saya juga takut kalau itu sebuah kangker.
Meski terkejut, tetapi perasaan itu saya sembunyikan. Bahkan sebaliknya saya berusaha untuk menghiburnya, dan mengatakan kalau itu bukan kangker, tapi kelenjar, seperti yang terjadi pada anak teman se kantor saya. Penyakit itu bisa diobati dengan obat tradisional dan doa-doa. Tapi tentu saja, istri saya tidak begitu saja percaya. Dia tahu kalau itu hanya untuk menghiburnya. Makanya sikapnya tidak berubah meski berkali-kali saya katakan, dia tetap gelisah dan hampir setiap malam jarang tidur.
Hampir tiga bulan saya mengobati penyakit itu. Pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif lainnya. Selama itu pula saya berusaha menghibur, memotivasi, meyakinkan dirinya. Namun penyakit itu tidak juga sembuh dan sikapnya tidak berubah. Bahkan dia nampak semakin gelisah. Akhirnya akhir Agustus saya bawa ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa itu bukan kangker, tapi hanya kelenjar yang bisa timbul pada wanita. Dokter menyarankan untuk dioprasi. Tanpa pikir panjang saya menuruti saran dokter. Hanya itu cara terbaik.
Tanggal 3 September 2007, istri saya masuk rumah sakit, menurut jadual besoknya dioprasi. Selama semalam saya tetap menghibur, memotivasi dan meyakinkan dirinya agar mentalnya siap dan kondisi tubuhnya tetap baik, terutama tekanan darah tetap normal. Kalau tidak begitu, oprasi tidak bisa dilakukan atau dengan kata lain akan diundur. Bersyukur sekali usaha saya berhasil, sehingga sampai menjelang oprasi kondisi tubuh istri saya tetap baik dan oprasi bisa berjalan baik dengan hasil yang memuaskan. Saya senang sekali dan saya yakin penyakit itu akan sembuh dalam beberapa hari.
Dalam kondisi belum sadar, istri saya dibawa ke ruang perawatan kelas dua sesuai dengan jatah asuransi kesehatan. Dalam ruangan itu sedang dirawat pula tiga pasien lainnya. Sejam kemudian dia sadar. Saya berharap setelah sadar, dia bisa istirahat total agar kondisinya cepat pulih. Namun harapan itu kandas, karena salah seorang pasien tak henti mengerang kesakitan. Keadaan menjadi gaduh dan istri saya tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Namun ada satu pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian itu. Yaitu timbulnya kesadaran dalam diri istri saya. Dia tidak kecewa dengan keadaan itu, justru sebaliknya malah dia senang dan bahagia. Karena ternyata apa dideritanya tidak separah apa yang diderita pasien-pasien lainnya. Nyatanya istri saya tidak pernah merasakan sakit, apalagi mengerang kesakitan seperti pasien itu. Perasaan bahagia dia ungkapkan dengan memeluk saya, seraya berkata ternyata selain dirinya ada orang lain yang sakitnya lebih parah.
Kebahagiaan bawahan
Seorang bawahan menduga kalau atasannya selalu bahagia. Karena seorang atasan bisa menyuruh bawahannya, bisa memperoleh gaji besar dan uang lainnya, bisa menggunakan mobil dinas, bisa pergi ke luar daerah dan luar negeri, bisa bergaul dengan orang-orang sukses dan bisa segalanya. Tidak seperti dirinya yang selalu disuruh orang lain, hanya mendapat gaji kecil, tidak bisa menggunakan mobil dinas, tidak pernah pergi ke mana-mana, apalagi ke luar negeri dan masih banyak keterbatasan lainnya. Tapi rupanya dugaan itu salah besar.
Ini soal atasan saya. Pada Bulan Agustus 2006, atasan saya diberi tugas untuk membuat sebuah percontohan air di Cinere Jakarta. Sebuah tugas dari pusat. Kebetulan beliau mempercayakan tugas itu kepada saya sebagai pegawai yang bekerja di bagian sarana. Sebagai persiapan saya survei terlebih dahulu. Bersamaan dengan itu atasan saya juga akan pergi ke Jakarta dan saya disuruh untuk ikut dengan beliau. Sebetulnya saya sungkan sekali, tapi karena tugas tentu saya harus menurutinya.
Di perjalanan kami banyak sekali ngobrol, terutama tentang keluarga dan pekerjaan. Dia meminta saya agar menyelesaikan tugas itu dengan sebaik-baiknya, karena percontohan itu akan diresmikan oleh menteri tahun depan. Tiba-tiba handphonenya berdering. Setelah diangkat dan bicara beberapa menit, dia meletakan kembali benda itu di sampingnya. Dia memandang saya sambil berkata kalau percontohan itu harus selesai dalam satu bulan. Mana mungkin, keluhnya. Dengan tiba-tiba pula dia mengambil handphonenya, lalu bicara dengan bagian keuangan. Mukanya berubah pucat. Belum lagi dananya susah cair, keluhnya lagi.
Besoknya, dia memanggil kepala bagian keuangan dengan seluruh stafnya. Selama setengah rapat dilakukan. Dia menyuruh saya untuk merinci seluruh biaya yang diperlukan dan meminta kepala bagian keuangan untuk mencairkan dana tersebut dalam dua hari. Namun kepala bagian keuangan itu tidak menyanggupi, karena dana akan cair dalam waktu seminggu. Berarti waktu semakin sempit. Akhirnya diputuskan untuk menggunakan dana dari pos lain.
Seminggu kemudian ada kejadian yang tidak diharapkan. Sebuah gedung dibongkar maling. Beberapa peralatan yang sangat mahal raib. Dia marah besar. Seluruh anggota satpam habis dimarahi. Buntutnya dia dan seluruh anggota satpam harus berurusan dengan kepolisian. Belum lagi dia harus mempertangungjawabkan kejadian itu kepada atasaanya di Jakarta. Hingga berbulan-bulan kasus itu tidak selesai dan semua peralatan tak kunjung kembali sampai sekarang.
Dari kejadian-kejadian itu, saya bisa membayangkan betapa berat tanggung jawab seorang atasan dalam memikul jabatannya. Belum lagi memikirkan kejadian lainnya. Tentang anak buahnya yang suka bolos. Tentang anak buahnya yang malas. Tentang targetnya yang tidak tercapai. Tentang tunjangan hari raya. Tentang jabatannya yang sewaktu-waktu bisa dicopot. Dan masih banyak lagi masalah yang akan membebani selama memegang jabatan itu.
Dari kejadian-kejadian itu pula saya bisa mengambil hikmah yang sangat besar. Saya bisa bahagia menjadi seorang bawahan. Karena tidak harus memikul tanggung jawab yang sangat berat karena jabatan. Tidak perlu memikirkan kejadian di kantor. Tidak perlu memikirkan tentang teman saya yang suka bolos. Tentang teman saya yang malas. Tentang target kantor saya yang tidak tercapai. Tentang tunjangan hari raya. Dan tidak takut dengan jabatan yang sewaktu-waktu bisa dicopot, karena saya tidak punya jabatan.
Jejak sepatu di karpet
Ini kisah seorang ibu rumah tangga. Cerita ini saya ambil dari sebuah situs internet. Ibu rumah tangga itu tinggal di sebuah rumah yang cukup megah, dengan suami yang sangat setia dan keempat orang anaknya yang sangat baik. Sebenarnya hidupnya sudah bahagia. Dia sangat senang mengurus rumah, mengurus suami dan anakn-anaknya. Hanya satu yang sering membuatnya tidak bahagia, yaitu karpet dalam rumahnya selalu kotor. Kotor oleh sepatu suami dan keempat anaknya. Dia sudah berkali-kali meminta suaminya dan menyuruh anaknya agar tidak mengotori karpet itu. Namun suami dan anak-anaknya tidak mau menghiraukannya, sehingga setiap hari dia selalu membersihkan karpet itu dan membuat dia pusing dan hampir gila.
Sebelum itu terjadi, ibu rumah tangga itu datang kepada seorang psikiater. Dia menceritakan semua kejadian yang dialaminya, dan terakhir dia meminta saran agar bisa memecahkan masalah itu. Sang psikiater tertawa mendengar cerita itu. Sedangkan ibu rumah tangga itu merasa heran dengan sikap psikiater itu dan bertanya lebih jauh. Dengan singkat sang psikiater menjawab, mestinya ibu lebih berbahagia lagi melihat karpet itu kotor. Karena dengan karpet yang kotor menandakan bahwa orang-orang yang dicintainya itu selalu dekat dengannya. Berarti suaminya selalu berada di rumah, tidak duduk di kafe dengan wanita lain. Berarti kedua anaknya juga selalu berada di rumah, tidak berkumpul dengan temannya menikmati heroin.
Ibu rumah tangga itu tersenyum bahagia. Sejak saat itu kebahagiaannya bertambah. Karena sang psikiater telah merubah sudut pandang ibu rumah tangga itu, dari pemikiran negatip menjadi positip. Kini dia sangat rela membersihkan karpet setiap hari dan pekerjaan itu telah membuatnya bertambah bahagia. Itulah salah satu bentuk bersyukur dengan keadaan hidupnya. Keadaan buruk apapun bisa membuat bahagia, asalkan kita mau mencari cara bersyukur yang baik, salah satunya dengan merubah sudut pandang yang akan membuat kita bahagia.
Bersyukur untuk bahagia
Tiga contoh di atas menunjukan, bahwa kebahagian itu bukan milik sekelompok orang saja, tetapi kebahagiaan itu milik semua orang, tanpa mengenal jenis kelamin, status sosial dan tingkat ekonomi. Kebahagiaan tidak hanya dirasakan di tempat tertentu saja, tetapi kebahagiaan bisa dirasakan dimana saja, di kota, di desa, di rumah, di kolong jembatan, di kantor, di pasar dan tempat-tempat lainnya. Kebahagian juga tidak hanya dirasakan pada waktu-waktu tertentu saja, tetapi kebahagian dapat dirasakan kapan saja, pagi, siang, sore dan malam. Ketika sedang bekerja, ketika sedang istirahat, ketika sedang di perjalanan, ketika sedang berkumpul dengan keluarga dan ketika sedang apa saja. Pokoknya kebahagiaan akan muncul kalau kita mau bersyukur kepada Allah.
Bila banyak orang kaya yang bahagia, itu wajar. Karena mereka memang tinggal di rumah yang megah. Setiap hari memakai kendaraan mewah, mengenakan pakaian mahal dan menyantap makanan yang bergizi tinggi. Tapi orang miskin juga bisa lebih bahagia, meski tidak memiliki harta benda seperti orang kaya. Karena kebahagiaan bukan terletak pada harta benda. Para petani bisa bahagia hanya karena melihat air yang mengalir ke sawahnya ketika mereka sedang mengolah tanah, mereka bisa bahagia hanya karena padinya tumbuh subur, mereka bisa bahagia hanya karena padinya menguning, mereka bisa bahagia ketika masa panen tiba. Tentu saja semua itu dirasakia an karena mereka selalu bersyukur kepada-Nya.
Bila banyak orang sehat bahagia, itu wajar. Karena mereka tidak terganggu oleh penyakit. Mereka bisa berjalan, berlari dan duduk seenaknya. Bisa makan apa saja dengan tak ada pantrangan. Bisa tidur dengan nyenyak dalam posisi apapun, tengkurep, terlentang, bersender dan dalam posisi lainnya. Tapi sebenarnya orang sakit juga bisa bahagia. Karena kebahagiaan itu bukan terletak dari keadaan badan. Bahagia terletak pada sejauhmana dirinya mau menerima cobaan itu. Pada hakekatnya, penyakit berasal dari Allah. Bersabar dan bersyukur adalah kunci kebahagiaan. Adanya penyakit pertanda Allah masih sayang pada dirinya. Orang yang sakit akan dikurangi dosa-dosanya, dan besok atau lusa dia akan sehat. Kalaupun meninggal, itulah jalan terbaik bagi dirinya. Adanya penyakit akan membuat dirinya lebih sadar dengan kehidupan dan akhirnya akan berusaha untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Mereka juga bisa membandingkan dengan orang lain yang sama-sama diberi penyaki, ternyata penyakitnya itu tidak separah penyakit orang lain.
Kalau banyak pejabat yang hidupnya bahagia juga wajar. Karena selain gajinya besar, dia juga bisa menggunakan fasilitas kantornya, misalnya kendaraan dinas, rumah dinas dan fasilitas lainnya untuk kepentingan hidupnya. Tapi bukan berarti bawahan tidak bisa bahagia. Bawahan bisa lebih bahagia daripada atasan, asalkan dia mau bersykur kepada Allah. Masih untung dia menjadi bawahan, coba di tempat lain masih banyak orang yang kelabakan mencari pekerjaan, masih banyak orang lain yang resah karena mendengar dirinya akan di PHK, masih banyak orang lain yang lebih darinya. Selain itu, dia juga tidak takut jabatannya dicopot, karena dia memang tidak memiliki jabatan. Tidak takut bila kendaraan dinasnya harus diserahkan kepada pejabat lain. Tidak takut diusir dari rumah dinas. Tidak takut diperiksa karena dituduh korupsi. Bagi bawahan hanya dengan cukup dengan menikmati gajinya, tanpa harus memikirkan bawahan lainnya, seperti tunjangan hari raya, upeti buat pejabat-pejabat lainnya. Cukup atau tidaknya gaji seorang bawahan itu relatif, tergantung cara mengaturnya.
Kebahagiaan hanya bisa diraih dengan cara bersyukur, yaitu menerima semua pemberian Allah dengan lapang dada dan berucap hamdallah. Nikmatilah pemberian hari ini, karena besok lusa belum tentu. Semua bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Tidak ada yang bisa memberikan jaminan. Hanya waktu yang bisa menjawab. Bila pada tahap awal kita melihat sebiji buah yang matang, petiklah buah itu, lalu kupas dan nikmatilah. Karena buah itu merupakan hasil dari pohon yang kita tanam. Kalau hari ini kita hanya memetik satu buah, yakinlah besok atau lusa buah itu akan bertambah banyak dan petiklah buah-buah itu, kupas dan nikmati lagi. Pasti bahagia akan selalu menemani hidup kita.
Meski kita sudah tahu kebahagiaan itu hanya bisa diraih dengan bersyukur, tapi masih banyak orang yang tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa syukur itu, atau seringkali kita lupa dengan cara yang pernah kita lakukan dimasa lalu, sehingga kebahagian itu cepat berlalu dan berubah dengan penderitaan. Hilangnya rasa syukur pada seseorang atau pada diri kita bisa disebabkan beberapa faktor, diantaranya. Pertama, kita sering tidak mau menerima semua hasil diperoleh hari ini. Kita sering merasa tidak puas dengan semua hasil yang diperoleh. Kita sering merasa tidak puas dengan semua yang kita miliki. Kita selalu merasa kekurangan. Kedua, kita selalu membayangkan sesuatu yang kita inginkan. Kita selalu membayangkan sesuatu yang belum tercapai. Kita sering membayangkan sesuatu yang belum kita miliki. Ketiga, kita sering membandingkan keadaan kita dengan orang lain yang lebih tinggi, bukan membandingkan dengan yang lebih rendah. Atau selalu memandang langit dari pada bumi. Keempat, kita tidak mau disebut sebagai orang yang gagal. Kita tidak mau disebut pecundang. Kelima, kita selalu ingin dipuji orang lain. Kita selalu ingin dianggap orang hebat atau orang nomor satu.
Tips bersyukur
Itulah lima faktor yang dapat menghambat kita dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Allah, dan tentunya masih faktor lainnya yang belum diungkapkan, tapi terasa sekali dalam diri kita. Jangan lakukan semua itu, karena semua itu hanya akan menghalangi langkah kita dalam meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita ini untuk meraih kebahagiaan. Raihlah kebahagiaan itu dengan bersyukur dan inilah beberapa yang bisa kita lakukan :
1. Terimalah semua hasil dengan lapang dada. Apa yang kita peroleh merupakan hasil dari jerih payah kita selama ini. Kalau kita hanya mendapatkan sedikit, tentu itu disebabkan karena usaha kita yang belum maksimal. Itulah hasil tertinggi dari usaha kita.Coba kalau kita mau bekerja lebih keras lagi, pasti hasilnya akan lebih tinggi lagi. Kita harus menghargai diri kita sendiri. Bisa pula hasil itu disebabkan karena kita telah melakukan kesalahan. Kalau kita telah melakukan kesalahan, maka jangan lakukan kesalahan itu, berpikirlah hingga kita mendapatkan jalan terbaik. Kalau kita telah melakukan kebaikan pada orang lain, pertahankan dengan gigih, karena prilaku itulah yang akan membawa kita menuju kesuksesan. Itulah hidup. Kita hanya bisa berjuang dan berdoa, sedangkan hasilnya ada yang mengatur.
2. Puaskan hati kita dengan semua yang kita miliki. Jangan bernafsu untuk menginginkan sesuatu yang lebih. Karena sesuatu yang lebih belum tentu bermanfaat buat kita. Ibarat orang yang sudah kenyang, tetapi masih terus memaksakan untuk makan lagi. Sudah pasti makanan itu akan keluar lagi, karena ruang perut kita sangat terbatas. Andai saja makanan itu diberikan kepada orang lain mungkin makanan itu akan lebih bermanfaat. Selain itu, apa yang kita miliki belum tentu dimiliki orang lain. Masih banyak orang yang lebih susah dari kita. Masih banyak orang yang hanya pagi makan siang tidak atau sebaliknya.
3. Janganlah kita selalu merasa kekurangan. Kalau kita selalu merasa kurang, selamanya akan selalu merasa kurang. Itulah nafsu manusia. Sadarkah kita kalau apa yang kita dapat itu adalah rizki dari Allah. Allah telah mengatur rizki kepada setiap umatnya secara adil. Allah memberikan rizki dalam jumlah tertentu merupakan sesuatu yang terbaik buat kita. Kalau kita diberikan lebih mungkin akan menjadi takabur dan sombong. Suatu sifat yang dibenci setiap orang.
4. Ucapkan hamdallah. Karena ucapan itu mengandung makna yang sangat dalam. Yaitu pengakuan terhadap adanya kekuasaan tertinggi di alam. Tak ada kekuatan lain, kecuali Dia. Allah sebagai pencipta alam dan dzat Pemberi dan Pengatur rizki terhadap umatnya.
5. Jangan berpikir terlalu jauh tentang keinginan dan angan-angan yang belum kita peroleh. Karena untuk mendapatkan semua itu tidak semudah membalikan tangan, kita harus berusaha dulu seperti sebelumnya. Karena keinginan itu, kita sering memaksakan kehendak dengan mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran, hingga kita lupa bahwa semua yang sudah dimiliki semestinya bisa dinikmati dan bisa membuat kita bahagia. Nikmati saja yang sudah diperoleh hari ini karena besok keadaan bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada yang bisa memberikan jaminan terhadap hidup kita. Lagi pula untuk meraih keinginan itu kita masih memiliki banyak waktu, dan kita masih bisa berusaha seperti sebelumnya.
6. Jangan membandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih tinggi, karena kemampuan setiap orang tidak sama. Mungkin kemampuan orang itu lebih tinggi dari kita. Atau mungkin belum saatnya bagi kita untuk meraih seperti orang itu. Jika kita mendapatkan hasil lebih sedikit dari orang lain, itulah kemampuan kita. Kita sering menganggap orang lain lebih beruntung daripada kita, sehingga muncul perasaan iri. Perasaan inilah yang akhirnya akan membuat diri kita tersiksa dan selalu ingin memaksakan diri untuk terus berusaha agar bisa seperti orang itu. Pandanglah ke bawah, masih banyak orang yang lebih rendah dari kita. Jangan memandang ke atas, karena di atas langit ada langit. Berjalanlah di bumi, karena bumi adalah tempat berpijak agar kita bisa berdiri kokoh. Jangan berjalan di langit, karena langit bukan tempat berpijak, kita jatuh dan hancur berkeping-keping. Padahal perbuatan itu bisa mencelakai diri kita sendiri. Karena kita berjalan bukan di atas langit, tapi di atas bumi.
7. Jangan takut dianggap gagal. Karena kegagalan tidak akan membuat kita menjadi hina. Yang hina itu adalah orang tidak mau berusaha atau orang selalu meledek orang lain. Kegagalan itu bukanlah akhir sebuah perjuangan, tetapi awal sebuah perjalanan. Kadang kita sendirilah yang selalu berperasaan kearah itu. Padahal orang lain belum tentu menganggap seperti itu. Lagi pula lebih baik biarkan saja orang menganggap seperti itu. Karena kitalah yang pasti akan merasakan semua hasilnya. Kalau kita puas dengan hasilnya, berarti kita bukan orang gagal, kita orang sukses.
8. Kita selalu ingin dipuji orang lain, bahwa kita orang yang sukses. Padahal apalah artinya sebuah pujian kalau nyatanya kita bukan orang yang sukses. Pujian akan membuat kita terlena, hingga kita menjadi lemah, dan kita lupa bahwa masih banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan. Terkadang pujian seseorang bukanlah merupakan pujian yang sesungguhnya, tetapi hanya ledekan dan mereka bertujuan agar kita berhenti sampai di situ. - bersambung -